Rabu, 29 Februari 2012

Dampak dan Penanggulangan Narkotik, Psikotropik dan Zat Adiktif(NAPZA)



Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif atau yang biasa disingkat NAPZA adalah zat-zat kimiawi yang dimasukkan kedalam tubuh manusia, baik ditelan, dihirup, maupun disuntikkan. Zat-zat kimia itu dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Pemakaian secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan fisik dan/atau psikologis yang merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan  secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur illegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
NARKOTIKA:
`Menurut UU RI No 22 / 1997, Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terdiri dari 3 golongan :
1. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja.
2. Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.
3. Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Codein.
PSIKOTROPIKA :
Menurut UU RI No 5 / 1997, psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku
Psikotropika terdiri dari 4 golongan :
1. Golongan I :Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi.
2. Golongan II :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amphetamine.
3. Golongan III :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Phenobarbital.
4. Golongan IV :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ).
ZAT ADIKTIF LAINNYA :
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya adalah : bahan / zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 – 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 – 20 % ( Berbagai minuman anggur )
c. Golongan C : kadar etanol 20 – 45 % (Whisky, Vodca, Manson House, Johny Walker).
2. Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Ada banyak alasan mengapa sesorang menggunakan NAPZA. Bagaimana seseorang mulai menyalahgunakan NAPZA, dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain:
Faktor Individu, kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai ataau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA
Faktor lingkungan, meliputi faktor lingkungan keluarga dimana kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua, sehingga anak akhirnya berkomunikasi di luar rumah, orang tua yang tidak harmonis, seringkali membuat seorang anak menjadi tidak nyaman berada di rumah, lingkungan sekolah dimana sekolah tidak menyediakan fasilitas untuk aktifitas ekstrakurikuler, lokasi sekolah dekat dengan tempat hiburan. Lingkungan teman sebaya dimana adanya dorongan teman sebaya, apabila tidak menggunakan NAPZA, dianggap tidak moderen dan tidak gaul. Dan terakhir adalah lingkungan masyarakat atau sosial, masyarakat yang tidak perduli dengan situasi lingkungan
Faktor NAPZA, mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau, seperti, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba. Selain itu efek dari obat yang memang dibutuhkan si penguna
            Faktor-faktor tersebut tidak diatas memang tidak selalu menjadi penyebab utama seorang individu menggunakan NAPZA, harus dilihat kasus perkasus, karena bisa saja anak dari keluarga harmonis menjadi penyalahguna NAPZA. Karena pada dasarnya, tidak seorang individu pun yang ingin menjadi seorang pecandu. Ketergantungan dan efek dari zat, yang akhirnya membuat para penyalahguna NAPZA sulit melepaskan diri dari ketergantungan.
Seorang individu tidak begitu saja mengalami ketergantungan, melainkan terjadi secara bertahap. Dimulai dari tahapan hanya coba-coba saja atau lebih sering disebut tahapan eksperimental, dimana seseorang coba-coba memakai, seperti juga coba-coba merokok, minuman beralkohol, keinginan untuk mencoba banyak hal yang melatar belakanginya, bisa karena ajakan teman, rasa ingin tahu, dan lain-lain. Karena efek yang enak, akhirnya menimbulkan ketagihan dan menjadi suatu kebiasaan, sehingga tidak dapat dikendalikan lagi.
            Tahapan yang lain adalah situasional, menggunakan NAPZA hanya utnuk situasional tertentu, karena sedang merasa sedih, frustasi, tidak ada teman untuk berbagi cerita, akhirnya menggunakan NAPZA, lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan. Tahapan selanjutnya tahap  disebut tahap rekreasional, menggunakan NAPZA hanya untuk rekreasi saja. Dan akhirnya sampai kepada tahap ketergantungan.
Keinginan yang kuat atau rasa ketagihan lah yang membuat seorang individu sulit untuk lepas dari kecanduan, atau lebih sering disebut “Suggesti” yang sangat kuat mendorong individu untuk tidak bisa lepas dari kecanduan. Seringkali, kalau kita mendengar atau melihat seseorang penyalahguna NAPZA atau pecandu, maka kita akan mengatakan “itu adalah hasil dari perbuatan mereka”. Tetapi sebenarnya yang terjadi pada diri sorang pecandu adalah, mereka juga punya keinginan untuk lepas dari ketergantungan, tapi sulit bagi mereka utnuk lepas dari ketergantungan, dimana lingkungan sangat mendukung yaitu tinggal di daerah dimana tempat mendaptakan NAPZA sangat mudah, pengedar yang selalu mencari mereka, support keluarga yang sangat lemah, sehingga akhirnya pecandu sulit untuk tidak menggunakan NAPZA.
Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Bahaya dari penyalahgunaan NAPZA  atau dampak yang ditimbulkan sering disebut dengan komorbiditas, sangat tergantung dari jenis NAPZA yang digunakan, secara umum bahaya dari penyalahgunaan NAPZA adalah: menyebabkan euphoria yang hebat, menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis jangka panjang, pengempisan pembuluh darah dan abses, manik mata mengecil, pikiran kacau, depresi, psikosis, penyakit-penyakit jantung atau kardiovaskuler, merusak sel-sel otak, tidak mampu konsentrasi, penurunan kemampuan fisik dan mental, meningkatkan halusinasi, napsu makan menurun, emosional, sulit tidur, nyeri otot, menyebabkan kematian.
Secara medis, dampak atau komorbiditas dari penyalahgunaan NAPZA dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
            1. Komorbiditas fisik atau komplikasi medis :
Disebabkan karena pemakaian yang lama, beberapa zat, apabila digunakan dalam waktu yang lama, akan mengakibatkan gangguan-gangguan pada fungsi tubuh, seperti heroin, akan mengaakibatkan gangguan pada fungsi paru-paru dan jantung, alkohol mengakibatkan gangguan pada fungsi hati, ganja mengakibatkan gangguan pada fungsi mental
Akibat pola hidup yang berubah, karena menjadi pengguna, pola hidup menjadi berubah, napsu makan menurun, lebih banyak mengkonsumsi narkoba, menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan, gangguan pola tidur
Akibat penggunaan jarum suntik bersamaan, mengakibatkan sarana penularan Hepatitis B, hepatitis C dan HIV-AIDS.
            2.  Komorbiditas Psikiatrik
Beberapa zat apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan psikiatrik, seperti alkohol, ganja, amfetamin, gangguan-gangguan yang ditimbulkan adalah : Gangguan Tidur, gangguan fungsi seksual, cemas, depresi berat, kasus-kasus ini ditemukan pada pengguna putaw atau heroin; Paranoid curiga berlebihan, psikosis, depresi berat, kadang-kadang percobaan bunuh diri, ini didapatkan pada pemakai jenis amfetamin; Gangguan Psikotik, cemas, paranoid, kehilangan motivasi, acuh tak acuh, kehilangan motivasi dan daya ingat, ini terjadi pada pengguna ganja; Depresi, cemas, sampai paranoid, ini terjadi pada pengguna jenis sedatip dan hipnotik atau obat-obatan penenang
3. Komorbiditas Sosial
Terjadi karena akibat dari ketergantungan zat tersebut dan pengedar membuat lingkungan tidak nyaman, yaitu:
Ø  Keluarga : dapat terjadi family disease, gangguan proses keluarga, menimbulkan keresahan pada keluarga dalam berbagai bentuk, karena perubahan sikap dan prilaku pengguna yang tidak menyenangkan karena efek dari napza, mengganggu ekonomi keluarga, psikologi
Ø  Sekolah : proses belajar mengajar terganggu, penurunan prestasi akademik, meningkatnya kenakalan dan sering membolos, putus sekolah, merusak tatanan pergaulan di sekolah, ysitu hubungan antar teman, guru dan siswa.
Ø  Masyarakat : Pengembangan jaringan perdagangan, ancaman kehidupan sosial, sulit keluar dari lingkungan pengguna, meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, daya tahan dan kualitas SDM yang lemah

Dampak-dampak tersebut  yang akan dialami  oleh para pengguna. Tentunya kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena dampak dari NAPZA, menimbulkan penderitaan, baik secara fisik, maupun psikologis bagi penggunanya. Namun seringkali masyarakat mengganggap bahwa, kondisi tersebut adalah akibat dari perbuatan pengguna sendiri. Padahal kalau kita lihat dari sisi medis, efek dari NAPZA memang membuat seseorang yang sudah menggunakan NAPZA, sulit untuk lepas dari ketergantungan. Mereka diharuskan menggunakan NAPZA setiap harinya, dikarenakan kebutuhan fisik dan psikis yang dialami akibat ketergantungannya terhadap NAPZA. Apabila tidak menggunakan , maka ia akan mengalami kesakitan secara fisik (withdrawl)
Dengan merujuk dari dampak yang ditimbulkan oleh NAPZA, tepat apabila penyalahguna dikatakan sebagai korban dari NAPZA sendiri. Sehingga yang seharusnya didapat oleh pengguna adalah sebuah proses terapi dan merehabilitasi pengguna. Karena pada dasarnya pengguna sendiri punya keinginan untuk lepas dari ketergantungan.
Program Terapi dan Rehabilitasi Sebagai Rujukan
Program terapi dan rehabilitasi adalah salah satu rujukan untuk menangani pasien-pasien yang mengalami ketergantungan NAPZA yang dilakukan oleh Instansi pemerintah dan swasta. Program terapi dan rehabilitasi ini bertujuan untuk membina para penyalahguna NAPZA agar dapat pulih dari ketergantungannya dengan menggunakan berbagai pendekatan serta nilai dan norma yang berlaku.(Subhan Hamonangan, Viktimisasi penyalahguna NAPZA akibat dualisme hukum positip) Rehabilitasi sendiri menurut Undang-Undang adalah fasilitas pembinaan bagi penyalahguna NAPZA dari segi medis, psikis dan sosial. Rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan atau Menteri Sosial (Pasal 39, undang-undang no.5 tahun 1997, tentang psikotropika)
Pada dasarnya tidak ada satu program terapi pun yang bisa membuat para penyalahguna NAPZA  lepas dari ketergantungan. Karena banyak penyalahguna NAPZA yang sudah menjalani berbagai jenis terapi NAPZA, tetap mengalami kekambuhan, karena didalam menjalani terapi NAPZA, tidak hanya pengguna saja yang mempunyai komitmen, tetapi dibutuhkan juga support orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah keluarga. Karena sering keluarga juga mengalami kejenuhan dalam merawat anggota keluarganya, karena terapi NAPZA membutuhkan perawatan dalam waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut yang menjadi kendala bagi program terapi pasien NAPZA.
Rehabilitasi tidak dapat memberikan jaminan kepada setiap pasien atau klien yang dirawat akan langsung sembuh dari ketergantungan, dalam istilah NAPZA tidak ada kata sembuh, tetapi istilah yang digunakan adalah pulih. Walaupun tidak memberikan jaminan pulih, didalam rehabilitasi digunakan pendekatan individual dan kelompok untuk menggali lebih jauh permasalahan utama yang dihadapi oleh individu yang mengalami ketegantungan dan mengarahkan yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan masalahnya.
Penulis tidak dapat menutup mata, tidak semua rehabilitasi menerapkan progaram pemulihan secara ideal. Masing-masing pelayanan rehabilitasi membuat modifikasi-modifikasi dalam program terapinya. Mengingat perkembangan tren NAPZA yang terus berubah, dan kondisi pasien NAPZA pun dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Kalau dahulu lebih ke arah pelayanan mental dan emosional, tapi saat ini lebih kearah penyelamatan hidup, pelayanan fisik dan psikiatrik. Hal ini disebabkan karena banyak Klien NAPZA yang sudah mengalami komplikasi medis (HIV-AIDS, Hepatitis C dan B, TB-HIV) dan kasus-kasus psikiatrik makin meningkat. Sehingga program rehabilitasi pun mengalami pergeseran, dari program TC (Therapeutic Community) kemudian ada proses modifikasi sesuai kondisi pasien.
Masih terdapat beberapa pusat rehabilitasi yang melakukan pendekatan kedisiplinan ala militer, dimana kekerasan fisik masih sering terjadi. Hal ini dapat terminimalisasi karena dapat dipastikan bahwa setiap lembaga yang mengatasnamakan panti rehabilitasi tidak seharusnya menerapkan atau membiarkan terjadinya kekerasan fisik didalam programnya. Karena pendekatan dengan menggunakan kekerassan fisik pada pasien NAPZA,  tidak akan membuat pennguna pulih, tetapi akan membuat klien trauma menjalani program terapi, termasuk keluarganya.
Proses Hukuman
Pemaparan dipembahasan-pembahasan sebelumnya jelas tergambar bahwa penyalahguna NAPZA, perlu suatu program terapi yang dibutuhkan tidak hanya sekedar untuk membuat pengguna lepas dari ketergantungan, tetapi program terapi juga dibutuhkan untuk pemulihan fisik dan psikologis penyalahguna.
Kita tahu, musuh masyarakat bukan, bukan penyalahguna NAPZA, tetapi produsen dan pengedar. Statistik dan Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan penyalahguna NAPZA (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan penyalahguna NAPZA.(Subhan hamonangan, Viktimisasi Penyalahguna Napza akibat Dualisme Hukum Positif ) Pemenjaraan bagi penyalahguna NAPZA  tidak menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan masalah yang baru kembali, karena  di dalam penjara terjadiover capacity, penjara menjadi kacau, terjadinya kekerasan sesama NAPI, eksploitasi NAPI, terutama untuk penyalahguna remaja dan wanita, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS). Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan terbukti tidak menyelesaikan masalah, terus berlangsung.
Banyak pihak yang tidak peduli dengan berkurangnya produktivitas SDM yang dipenjara dan negara membiayai fasilitas hukuman seperti ini. Padahal, banyak pecandu yang dalam banyak hal sudah banyak kehilangan kesempatan untuk meraih impian masa depan dan cita-cita, termasuk tujuan hidup ternyata apabila ditangani dengan program yang kreatif, terarah membuat mereka menjadi bermanfaat. Sedangkan penjara tidak menyediakan fasilitas ini, namun seolah-olah menjanjikan detoksifikasi dengan model pasang badan (cold turkey), yaitu tanpa bantuan obat atau zat, detoksifikasi alamiah. Namun dengan maraknya kasus peredaran NAPZA di dalam penjara (terbukti dalam berita TV tentang kondisi LAPAS di Medan), tentunya hal ini tidak mungkin. Tindakan selanjutnya perawatan dan rehabilitasi juga tidak didapatkan. Akibatnya banyak pecandu yang sakit tertular HIV/AIDS, dan meninggal (Irwanto, Artikel dilema menjadi pecandu Narkoba )
Bagi penulis, melihat kondisi ini, disinilah bahwa kita harus memanusiakan penyalahguna NAPZA. Karena masih banyak anggapan dan stigma, pasien NAPZA  adalah orang yang tidak perlu dibina dan mengganggap terapi rehabilitasi tidak membawa dampak apapun bagi pengguna, tanpa melihat bahwa pada dasarnya adiksi alah suatu kondisi kronis, yang oleh penggunapun dianggap penderitaan. Padahal ketergantungan NAPZA adalah suatu penyakit yang dapat dipulihkan dengan adanya dukungan orang-orang terdekatnya yaitu keluarga, kakak dan adiknya, teman terdekat, istri atau suami, masyarakat dan kelompok serta niat dan kemauan yang keras dari penyalahgunannya.
KESIMPULAN
Hukuman dan penjara bukan tempat yang tepat bagi penyalahguna NAPZA. Mereka adalah korban dari suatu proses ketergantungan. Penjara hanya akan membuat pengguna menjadi korban viktimisasi dan tidak membuatnya pulih dari ketergantungan. Program terapi dan rehabilitasi merupakan hak yang dapat dimiliki oleh klien atau pasien NAPZA. Karena pada dasarnya ketergantungan NAPZA tidak selalu merupakan sesuatu yang memang diinginkan oleh seorang pecandu, sama halnya dengan sesorang yang tidak menginginkan menderita penyakit kanker atau penyakit lain yang susah disembuhkan. Sehingga, rehabilitasi adalah sarana pecandu untuk menjalani proses pemulihan
Penulis dalam hal ini kembali menekankan, bahwa tidak mudah untuk menangani pasien/klien NAPZA, karena adiksi adalah penyakit kronis, salah satu dampak terhadap prilaku adalah adanya prilaku obsessive-compulsive, yaitu dimana pada saat kebutuhan dan keinginan untuk menggunakan timbul, maka tidak ada satupun ancaman yang ditakuti oleh pengguna. Selain itu emosional pasien yang cenderung tinggi, terkadang mengakibatkan burn out pada tenaga kesehatan yang terlibat di dalam perawatan pasien NAPZA  dan resiko kekambuhan yang tinggi, akhirnya membuat pasien NAPZA seringkali berulang dirawat, membuat petugas harus berhadapan dengan pasien yang sama, ini juga berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Penyalahguna NAPZA adalah korban yang harus diselamatkan dari penyakit adiksi. Penyakit ini dapat dipulihkan dengan dukungan dan komitmen yang kuat dari orang-orang terdekat, keluarga, istri atau suami, teman-teman terdekat. Adanya perhatian dan kasih sayang terhadap diri si penyalahguna, karena sesusungguhnya mereka juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekelilingnya, hal yang paling utama adalah niat dan kemauan dari diri sendiri.
sumber :
·         kimiadahsyat.blogspot.com
.

Minggu, 26 Februari 2012

kortikosteroid dan efek sampingnya


1. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku1.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.
2. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis, systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata, dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya ondansetron)2.
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing. Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11 malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik untuk proses penyakitnya2.
3. Farmakodinamik kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi3.
4. Efek Samping Kortikosteroid
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.
Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi.
Sindrom Cushing iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.
Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat, bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran s?l dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa3.
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan kelinci.
Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik.
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari2.
Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.
Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN. Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan psikologik dan hipertensi.
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan berat badan pada beberapa penderita4.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih, dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid, dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal jantung kongestif.
5. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006) The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed. McGraw-Hill, New York.
4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.

Manfaat Buah dan Vitamin yang terkandung di dalamnya


Buah adalah salah satu jenis makanan yang memiliki kandungan gizi, vitamin dan mineral yang pada umumnya sangat baik untuk dikonsumsi setiap hari. Dibandingkan dengan suplemen obat-obatan kimia yang dijual di toko-toko, buah jauh lebih aman tanpa efek samping yang berbahaya serta dari sisi harga umumnya jauh lebih murah dibanding suplemen yang memiliki fungsi yang sama.
Di bawah ini kita dapat melihat kandungan zat dan manfaat sehat dari beberapa jenis buah yang banyak di sekitar kita :
1. BUAH TOMAT
* tomat mengandung vitamin A, B1 dan C.
* tomat dapat membantu membersihkan hati dan darah kita.
serta dapat mencegah beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- gusi berdarah.
- rabun senja / kotok ayam.
- penggumpalan darah.
- usus buntu.
kanker prostat dan kanker payudara.
2. BUAH PEPAYA
* pepaya mengandung vitamin C dan provitamin A.
* pepaya dapat membantu memecah serat makanan dalam sistem pencernaan, melancarkan saluran pencernaan makanan.
dan dapat menanggulangi atau mengobati beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- menyembuhkan luka.
- menghilangkan infeksi.
- menghilangkan alergi
3. BUAH PISANG
* pisang mengandung vitamin A, B1, B2 dan C.
* pisang dapat membantu mengurangi asam lambung.
* pisang bisa membantu menjaga keseimbangan air dalam tubuh.
pisang dapat menanggulangi atau mengobati beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- gangguan pada lambung.
- penyakit jantung dan stroke
- stress
- menurunkan kadar koleterol dalam darah.
4. BUAH MANGGA
* mangga mengandung vitamin A, E dan C.
* mangga dapat bertindak sebagai disinfektan dan dapat membersihkan darah.
mangga jg dapat menanggulangi atau mengobati beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- bau badan / bb / bau tubuh yang tidak enak.
- menurunkan panas tubuh saat demam.
5. BUAH STRAWBERRY
* stoberi mengandung provitamin A, vitamin B1, B dan C.
* stobery mengandung antioksidan untuk melawan zat radikal bebas.
strawbery memiliki kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- mengobati gangguan kesehatan pada kandung kemih.
- menjadi anti virus
- menjadi anti kanker
6. BUAH APEL
* apel mengandung vitamin A, B dan C.
* aple dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dalam darah.
apel mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- menjadi zat anti kanker.
- mengurangi nafsu makan yang terlalu besar.
7. BUAH JERUK
* jeruk mengandung vitamin A, B1, B2 dan C.
* jeruk mengandung antikanker bagi tubuh.
jeruk jg dapat mencegah dan mengobati beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- mengobati sariawan.
- menurunkan resiko terkena kardiovaskuler, kanker, dan katarak.
8. BUAH PEAR / PIR
* pear mengandung vitamin C dan provitamin A.
* pear mengandung anti oksidan yang baik untuk menjaga kesehatan.
pear dapat mencegah beragam penyakit dan gangguan kesehatan lain seperti :
- menurunkan demam / panas tubuh.
- mengencerkan dan menhilangkan dahak pada batuk berdahak.
9. BUAH JAMBU (BIJI MERAH)
* jambu merah mengandung vitamin C yang sangat banyak.
* jambu merah mengandung zat antioxidan dan antikanker.
jambu merah mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- menurunkan kadar kolesterol darah
- mengobati infeksi.
- menjaga mengobati sariawan.
- memperlancar peredaran darah.
- melancarkan saluran pencernaan.
- mencegah konstipasi.
10. BUAH SEMANGKA
* semangka mengandung vitamin C dan provitamin A.
* semangka dapat menjadi antialergi.
semangka mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- menurunkan kadar kolesterol.
- mencegah dan menahan serangan jantung.
11. BUAH MELON
* melon mengandung vitamin C dan provitamin A.
* melon mengandung zat anti kanker dan anti oksidan.
melon mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- mencegah darah menggumpal.
- membersihkan kulit.
- menlancarkan saluran pencernaan.
- menurunkan kadar kolestrerol.
12. BUAH WORTEL
* wortel kaya akan vitamin A.
* wortel baik untuk menjaga kesehatan mata.
wortel jg mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- meningkatkan kekebalan dan ketahanan tubuh jasmani.
- menjaga hati tetap sehat.
13. BUAH BELIMBING
* belimbing mengandung vitamin C dan provitamin A.
* belimbing dapat membantu memperlancar pencernaan makanan.
belimbing mempunyai kegunaan / fungsi kesehatan lain seperti :
- menurunkan tekanan darah.
- menurunkan kadar / tingkat kolesterol dalam tubuh.
1.  Vitamin A :  Vitamin yang penting untuk pemeliharaan sel kornea mata membantu pertumbuhan tulang dan gigi pembentukan dan pengaturan hormon melindungi tubuh terhadap kanker. Vitamin A banyak terdapat pada sayur-sayuran (wortel, ubi, labu kuning, bayam, tomat), buah-buahan (pepaya), susu, keju, mentega, dan telur, Jika tubuh kurang vitamin A menyebabkan penurunan fungsi kornea hingga kebutaan, perubahan bentuk tulang, pertumbuhaannya terhambat, membentuk celah (kerusakan pada gigi), terhentinya pertumbuhan sel-sel pembentuk gigi
2. Vitamin B
- Vitamin B1  :  Vitamin yang penting untuk metabolisme karbohidrat, mengobati penyakit beri-beri, keadaan yang menyebabkan peningkatan kebutuhan akan vitamin B1, misalnya selama kehamilan. Sumber vitamin B1: sayur-sayuran, kacang-kacangan susu, kuning telur, kentang, Jika tubuh kurang vitamin B1menyebabkan berkurangnya kemampuan fisik maupun psikis, tak ada nafsu makan, bobot badan berkurang, gangguan fungsi lambung dan usus.
- Vitamin B2  :  Vitamin yang penting untuk pencegahan defisiensi vitamin B2 yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vitamin B lainnya, Sumber vitamin B2 : ragi, padi-padian, telur, berbagai sayuran, polong-polongan, susu, keju, dan sebagian disintesis oleh bakteri usus, Gejala kekurangan vitamin B2 jarang terjadi pada manusia. Biasanya vitamin B2 yang didapat bersama makanan dan yang disintesis oleh bakteri usus sudah mencukupi, Defisiensi biasanya timbul setelah diare kronis atau setelah terapi jangka panjang dengan antibiotika atau sulfonamida.
- Vitamin B6  :  Vitamin B6 dosis tinggi digunakan untuk kerusakan akibat penyinaran, neuritis setelah terapi isoniazid atau sikloserin, Sumber vitamin B6 : ragi, padi-padian, sayuran hijau, otak, kuning telur, hati, dan susu, Kekurangan vitamin B6 jarang terjadi pada manusia.
- Vitamin B12  :  Vitamin yang penting untuk pembentukan sel (termasuk sel darah merah) dan memelihara sel saraf, Sumber vitamin B12 : daging, susu, ikan, unggas (ayam).
3. Vitamin C :  Vitamin yang penting untuk pembentukan kolagen, membantu absorpsi besi, sebagai antioksidan, penghasil senyawa transmitter saraf dan hormon tertentu. Vitamin C terdapat pada jeruk dan buah-buahan lain yang rasanya masam, cabai, brokoli, Jika tubuh kurang vitamin C menyebabkan skorbut (pendarahan gusi), sariawan, hambatan pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, mudah terjadi luka dan infeksi tubuh.
4. Vitamin D :  Vitamin yang penting untuk membantu pembentukan/pemeliharaan formasi tulang dan homeostasis mineral, Makanan yang mengandung vitamin D : susu, hati, telur, ikan, dan minyak ikan, Jika tubuh kurang vitamin D menyebabkan penyakit gastrointestinal (malabsorpsi atau radang pankreas kronik). kegagalan ginjal kronik, pada anak-anak dapat menyebabkan rakhitis.
5. Vitamin E :  Vitamin yang penting untuk mencegah terjadinya hemolisis sel-sel darah merah dan anemia, Sumber vitamin E : sayuran hijau, kacang-kacangan, Jika tubuh kurang vitamin E dapat terjadi hemolisis sel darah merah.
6. Vitamin K :  Vitamin K dalam tubuh akan mempengaruhi sistem enzim yang mensintesa faktorpembekuan darah, Sumber terbesar vitamin K berasal dari sayur-sayuran hijau seperti kangkung dan lobak, brooli, taoge, bayam, dan kembang kol, Jika tubuh kurang vitamin dapat menyebabkan darah sukar membeku.