Rabu, 29 Februari 2012

Dampak dan Penanggulangan Narkotik, Psikotropik dan Zat Adiktif(NAPZA)



Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif atau yang biasa disingkat NAPZA adalah zat-zat kimiawi yang dimasukkan kedalam tubuh manusia, baik ditelan, dihirup, maupun disuntikkan. Zat-zat kimia itu dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Pemakaian secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan fisik dan/atau psikologis yang merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidisipliner, multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan  secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur illegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.
NARKOTIKA:
`Menurut UU RI No 22 / 1997, Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terdiri dari 3 golongan :
1. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja.
2. Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin.
3. Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Codein.
PSIKOTROPIKA :
Menurut UU RI No 5 / 1997, psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku
Psikotropika terdiri dari 4 golongan :
1. Golongan I :Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi.
2. Golongan II :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amphetamine.
3. Golongan III :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Phenobarbital.
4. Golongan IV :Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ).
ZAT ADIKTIF LAINNYA :
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya adalah : bahan / zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 – 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 – 20 % ( Berbagai minuman anggur )
c. Golongan C : kadar etanol 20 – 45 % (Whisky, Vodca, Manson House, Johny Walker).
2. Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Ada banyak alasan mengapa sesorang menggunakan NAPZA. Bagaimana seseorang mulai menyalahgunakan NAPZA, dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain:
Faktor Individu, kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai ataau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan NAPZA
Faktor lingkungan, meliputi faktor lingkungan keluarga dimana kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua, sehingga anak akhirnya berkomunikasi di luar rumah, orang tua yang tidak harmonis, seringkali membuat seorang anak menjadi tidak nyaman berada di rumah, lingkungan sekolah dimana sekolah tidak menyediakan fasilitas untuk aktifitas ekstrakurikuler, lokasi sekolah dekat dengan tempat hiburan. Lingkungan teman sebaya dimana adanya dorongan teman sebaya, apabila tidak menggunakan NAPZA, dianggap tidak moderen dan tidak gaul. Dan terakhir adalah lingkungan masyarakat atau sosial, masyarakat yang tidak perduli dengan situasi lingkungan
Faktor NAPZA, mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga terjangkau, seperti, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk dicoba. Selain itu efek dari obat yang memang dibutuhkan si penguna
            Faktor-faktor tersebut tidak diatas memang tidak selalu menjadi penyebab utama seorang individu menggunakan NAPZA, harus dilihat kasus perkasus, karena bisa saja anak dari keluarga harmonis menjadi penyalahguna NAPZA. Karena pada dasarnya, tidak seorang individu pun yang ingin menjadi seorang pecandu. Ketergantungan dan efek dari zat, yang akhirnya membuat para penyalahguna NAPZA sulit melepaskan diri dari ketergantungan.
Seorang individu tidak begitu saja mengalami ketergantungan, melainkan terjadi secara bertahap. Dimulai dari tahapan hanya coba-coba saja atau lebih sering disebut tahapan eksperimental, dimana seseorang coba-coba memakai, seperti juga coba-coba merokok, minuman beralkohol, keinginan untuk mencoba banyak hal yang melatar belakanginya, bisa karena ajakan teman, rasa ingin tahu, dan lain-lain. Karena efek yang enak, akhirnya menimbulkan ketagihan dan menjadi suatu kebiasaan, sehingga tidak dapat dikendalikan lagi.
            Tahapan yang lain adalah situasional, menggunakan NAPZA hanya utnuk situasional tertentu, karena sedang merasa sedih, frustasi, tidak ada teman untuk berbagi cerita, akhirnya menggunakan NAPZA, lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan. Tahapan selanjutnya tahap  disebut tahap rekreasional, menggunakan NAPZA hanya untuk rekreasi saja. Dan akhirnya sampai kepada tahap ketergantungan.
Keinginan yang kuat atau rasa ketagihan lah yang membuat seorang individu sulit untuk lepas dari kecanduan, atau lebih sering disebut “Suggesti” yang sangat kuat mendorong individu untuk tidak bisa lepas dari kecanduan. Seringkali, kalau kita mendengar atau melihat seseorang penyalahguna NAPZA atau pecandu, maka kita akan mengatakan “itu adalah hasil dari perbuatan mereka”. Tetapi sebenarnya yang terjadi pada diri sorang pecandu adalah, mereka juga punya keinginan untuk lepas dari ketergantungan, tapi sulit bagi mereka utnuk lepas dari ketergantungan, dimana lingkungan sangat mendukung yaitu tinggal di daerah dimana tempat mendaptakan NAPZA sangat mudah, pengedar yang selalu mencari mereka, support keluarga yang sangat lemah, sehingga akhirnya pecandu sulit untuk tidak menggunakan NAPZA.
Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Bahaya dari penyalahgunaan NAPZA  atau dampak yang ditimbulkan sering disebut dengan komorbiditas, sangat tergantung dari jenis NAPZA yang digunakan, secara umum bahaya dari penyalahgunaan NAPZA adalah: menyebabkan euphoria yang hebat, menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis jangka panjang, pengempisan pembuluh darah dan abses, manik mata mengecil, pikiran kacau, depresi, psikosis, penyakit-penyakit jantung atau kardiovaskuler, merusak sel-sel otak, tidak mampu konsentrasi, penurunan kemampuan fisik dan mental, meningkatkan halusinasi, napsu makan menurun, emosional, sulit tidur, nyeri otot, menyebabkan kematian.
Secara medis, dampak atau komorbiditas dari penyalahgunaan NAPZA dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
            1. Komorbiditas fisik atau komplikasi medis :
Disebabkan karena pemakaian yang lama, beberapa zat, apabila digunakan dalam waktu yang lama, akan mengakibatkan gangguan-gangguan pada fungsi tubuh, seperti heroin, akan mengaakibatkan gangguan pada fungsi paru-paru dan jantung, alkohol mengakibatkan gangguan pada fungsi hati, ganja mengakibatkan gangguan pada fungsi mental
Akibat pola hidup yang berubah, karena menjadi pengguna, pola hidup menjadi berubah, napsu makan menurun, lebih banyak mengkonsumsi narkoba, menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan, gangguan pola tidur
Akibat penggunaan jarum suntik bersamaan, mengakibatkan sarana penularan Hepatitis B, hepatitis C dan HIV-AIDS.
            2.  Komorbiditas Psikiatrik
Beberapa zat apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan psikiatrik, seperti alkohol, ganja, amfetamin, gangguan-gangguan yang ditimbulkan adalah : Gangguan Tidur, gangguan fungsi seksual, cemas, depresi berat, kasus-kasus ini ditemukan pada pengguna putaw atau heroin; Paranoid curiga berlebihan, psikosis, depresi berat, kadang-kadang percobaan bunuh diri, ini didapatkan pada pemakai jenis amfetamin; Gangguan Psikotik, cemas, paranoid, kehilangan motivasi, acuh tak acuh, kehilangan motivasi dan daya ingat, ini terjadi pada pengguna ganja; Depresi, cemas, sampai paranoid, ini terjadi pada pengguna jenis sedatip dan hipnotik atau obat-obatan penenang
3. Komorbiditas Sosial
Terjadi karena akibat dari ketergantungan zat tersebut dan pengedar membuat lingkungan tidak nyaman, yaitu:
Ø  Keluarga : dapat terjadi family disease, gangguan proses keluarga, menimbulkan keresahan pada keluarga dalam berbagai bentuk, karena perubahan sikap dan prilaku pengguna yang tidak menyenangkan karena efek dari napza, mengganggu ekonomi keluarga, psikologi
Ø  Sekolah : proses belajar mengajar terganggu, penurunan prestasi akademik, meningkatnya kenakalan dan sering membolos, putus sekolah, merusak tatanan pergaulan di sekolah, ysitu hubungan antar teman, guru dan siswa.
Ø  Masyarakat : Pengembangan jaringan perdagangan, ancaman kehidupan sosial, sulit keluar dari lingkungan pengguna, meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, daya tahan dan kualitas SDM yang lemah

Dampak-dampak tersebut  yang akan dialami  oleh para pengguna. Tentunya kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena dampak dari NAPZA, menimbulkan penderitaan, baik secara fisik, maupun psikologis bagi penggunanya. Namun seringkali masyarakat mengganggap bahwa, kondisi tersebut adalah akibat dari perbuatan pengguna sendiri. Padahal kalau kita lihat dari sisi medis, efek dari NAPZA memang membuat seseorang yang sudah menggunakan NAPZA, sulit untuk lepas dari ketergantungan. Mereka diharuskan menggunakan NAPZA setiap harinya, dikarenakan kebutuhan fisik dan psikis yang dialami akibat ketergantungannya terhadap NAPZA. Apabila tidak menggunakan , maka ia akan mengalami kesakitan secara fisik (withdrawl)
Dengan merujuk dari dampak yang ditimbulkan oleh NAPZA, tepat apabila penyalahguna dikatakan sebagai korban dari NAPZA sendiri. Sehingga yang seharusnya didapat oleh pengguna adalah sebuah proses terapi dan merehabilitasi pengguna. Karena pada dasarnya pengguna sendiri punya keinginan untuk lepas dari ketergantungan.
Program Terapi dan Rehabilitasi Sebagai Rujukan
Program terapi dan rehabilitasi adalah salah satu rujukan untuk menangani pasien-pasien yang mengalami ketergantungan NAPZA yang dilakukan oleh Instansi pemerintah dan swasta. Program terapi dan rehabilitasi ini bertujuan untuk membina para penyalahguna NAPZA agar dapat pulih dari ketergantungannya dengan menggunakan berbagai pendekatan serta nilai dan norma yang berlaku.(Subhan Hamonangan, Viktimisasi penyalahguna NAPZA akibat dualisme hukum positip) Rehabilitasi sendiri menurut Undang-Undang adalah fasilitas pembinaan bagi penyalahguna NAPZA dari segi medis, psikis dan sosial. Rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan atau Menteri Sosial (Pasal 39, undang-undang no.5 tahun 1997, tentang psikotropika)
Pada dasarnya tidak ada satu program terapi pun yang bisa membuat para penyalahguna NAPZA  lepas dari ketergantungan. Karena banyak penyalahguna NAPZA yang sudah menjalani berbagai jenis terapi NAPZA, tetap mengalami kekambuhan, karena didalam menjalani terapi NAPZA, tidak hanya pengguna saja yang mempunyai komitmen, tetapi dibutuhkan juga support orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah keluarga. Karena sering keluarga juga mengalami kejenuhan dalam merawat anggota keluarganya, karena terapi NAPZA membutuhkan perawatan dalam waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut yang menjadi kendala bagi program terapi pasien NAPZA.
Rehabilitasi tidak dapat memberikan jaminan kepada setiap pasien atau klien yang dirawat akan langsung sembuh dari ketergantungan, dalam istilah NAPZA tidak ada kata sembuh, tetapi istilah yang digunakan adalah pulih. Walaupun tidak memberikan jaminan pulih, didalam rehabilitasi digunakan pendekatan individual dan kelompok untuk menggali lebih jauh permasalahan utama yang dihadapi oleh individu yang mengalami ketegantungan dan mengarahkan yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan masalahnya.
Penulis tidak dapat menutup mata, tidak semua rehabilitasi menerapkan progaram pemulihan secara ideal. Masing-masing pelayanan rehabilitasi membuat modifikasi-modifikasi dalam program terapinya. Mengingat perkembangan tren NAPZA yang terus berubah, dan kondisi pasien NAPZA pun dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Kalau dahulu lebih ke arah pelayanan mental dan emosional, tapi saat ini lebih kearah penyelamatan hidup, pelayanan fisik dan psikiatrik. Hal ini disebabkan karena banyak Klien NAPZA yang sudah mengalami komplikasi medis (HIV-AIDS, Hepatitis C dan B, TB-HIV) dan kasus-kasus psikiatrik makin meningkat. Sehingga program rehabilitasi pun mengalami pergeseran, dari program TC (Therapeutic Community) kemudian ada proses modifikasi sesuai kondisi pasien.
Masih terdapat beberapa pusat rehabilitasi yang melakukan pendekatan kedisiplinan ala militer, dimana kekerasan fisik masih sering terjadi. Hal ini dapat terminimalisasi karena dapat dipastikan bahwa setiap lembaga yang mengatasnamakan panti rehabilitasi tidak seharusnya menerapkan atau membiarkan terjadinya kekerasan fisik didalam programnya. Karena pendekatan dengan menggunakan kekerassan fisik pada pasien NAPZA,  tidak akan membuat pennguna pulih, tetapi akan membuat klien trauma menjalani program terapi, termasuk keluarganya.
Proses Hukuman
Pemaparan dipembahasan-pembahasan sebelumnya jelas tergambar bahwa penyalahguna NAPZA, perlu suatu program terapi yang dibutuhkan tidak hanya sekedar untuk membuat pengguna lepas dari ketergantungan, tetapi program terapi juga dibutuhkan untuk pemulihan fisik dan psikologis penyalahguna.
Kita tahu, musuh masyarakat bukan, bukan penyalahguna NAPZA, tetapi produsen dan pengedar. Statistik dan Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan penyalahguna NAPZA (73 persen pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih ringan dibandingkan dengan penyalahguna NAPZA.(Subhan hamonangan, Viktimisasi Penyalahguna Napza akibat Dualisme Hukum Positif ) Pemenjaraan bagi penyalahguna NAPZA  tidak menyelesaikan masalah, tetapi menimbulkan masalah yang baru kembali, karena  di dalam penjara terjadiover capacity, penjara menjadi kacau, terjadinya kekerasan sesama NAPI, eksploitasi NAPI, terutama untuk penyalahguna remaja dan wanita, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS). Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan dan terbukti tidak menyelesaikan masalah, terus berlangsung.
Banyak pihak yang tidak peduli dengan berkurangnya produktivitas SDM yang dipenjara dan negara membiayai fasilitas hukuman seperti ini. Padahal, banyak pecandu yang dalam banyak hal sudah banyak kehilangan kesempatan untuk meraih impian masa depan dan cita-cita, termasuk tujuan hidup ternyata apabila ditangani dengan program yang kreatif, terarah membuat mereka menjadi bermanfaat. Sedangkan penjara tidak menyediakan fasilitas ini, namun seolah-olah menjanjikan detoksifikasi dengan model pasang badan (cold turkey), yaitu tanpa bantuan obat atau zat, detoksifikasi alamiah. Namun dengan maraknya kasus peredaran NAPZA di dalam penjara (terbukti dalam berita TV tentang kondisi LAPAS di Medan), tentunya hal ini tidak mungkin. Tindakan selanjutnya perawatan dan rehabilitasi juga tidak didapatkan. Akibatnya banyak pecandu yang sakit tertular HIV/AIDS, dan meninggal (Irwanto, Artikel dilema menjadi pecandu Narkoba )
Bagi penulis, melihat kondisi ini, disinilah bahwa kita harus memanusiakan penyalahguna NAPZA. Karena masih banyak anggapan dan stigma, pasien NAPZA  adalah orang yang tidak perlu dibina dan mengganggap terapi rehabilitasi tidak membawa dampak apapun bagi pengguna, tanpa melihat bahwa pada dasarnya adiksi alah suatu kondisi kronis, yang oleh penggunapun dianggap penderitaan. Padahal ketergantungan NAPZA adalah suatu penyakit yang dapat dipulihkan dengan adanya dukungan orang-orang terdekatnya yaitu keluarga, kakak dan adiknya, teman terdekat, istri atau suami, masyarakat dan kelompok serta niat dan kemauan yang keras dari penyalahgunannya.
KESIMPULAN
Hukuman dan penjara bukan tempat yang tepat bagi penyalahguna NAPZA. Mereka adalah korban dari suatu proses ketergantungan. Penjara hanya akan membuat pengguna menjadi korban viktimisasi dan tidak membuatnya pulih dari ketergantungan. Program terapi dan rehabilitasi merupakan hak yang dapat dimiliki oleh klien atau pasien NAPZA. Karena pada dasarnya ketergantungan NAPZA tidak selalu merupakan sesuatu yang memang diinginkan oleh seorang pecandu, sama halnya dengan sesorang yang tidak menginginkan menderita penyakit kanker atau penyakit lain yang susah disembuhkan. Sehingga, rehabilitasi adalah sarana pecandu untuk menjalani proses pemulihan
Penulis dalam hal ini kembali menekankan, bahwa tidak mudah untuk menangani pasien/klien NAPZA, karena adiksi adalah penyakit kronis, salah satu dampak terhadap prilaku adalah adanya prilaku obsessive-compulsive, yaitu dimana pada saat kebutuhan dan keinginan untuk menggunakan timbul, maka tidak ada satupun ancaman yang ditakuti oleh pengguna. Selain itu emosional pasien yang cenderung tinggi, terkadang mengakibatkan burn out pada tenaga kesehatan yang terlibat di dalam perawatan pasien NAPZA  dan resiko kekambuhan yang tinggi, akhirnya membuat pasien NAPZA seringkali berulang dirawat, membuat petugas harus berhadapan dengan pasien yang sama, ini juga berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Penyalahguna NAPZA adalah korban yang harus diselamatkan dari penyakit adiksi. Penyakit ini dapat dipulihkan dengan dukungan dan komitmen yang kuat dari orang-orang terdekat, keluarga, istri atau suami, teman-teman terdekat. Adanya perhatian dan kasih sayang terhadap diri si penyalahguna, karena sesusungguhnya mereka juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekelilingnya, hal yang paling utama adalah niat dan kemauan dari diri sendiri.
sumber :
·         kimiadahsyat.blogspot.com
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar