Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif atau yang biasa disingkat NAPZA adalah zat-zat kimiawi yang dimasukkan
kedalam tubuh manusia, baik ditelan, dihirup, maupun disuntikkan. Zat-zat kimia
itu dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang.
Pemakaian secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan fisik dan/atau
psikologis yang merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidisipliner, multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan,
konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam kedokteran, sebagian besar golongan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi
pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur illegal,
akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya
generasi muda.
NARKOTIKA:
`Menurut UU RI No 22 / 1997,
Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika terdiri dari 3 golongan
:
1. Golongan I : Narkotika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh : Heroin, Kokain, Ganja.
2. Golongan II : Narkotika yang
berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan
dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Morfin,
Petidin.
3. Golongan III : Narkotika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan
pengebangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh : Codein.
PSIKOTROPIKA
:
Menurut UU RI No 5 / 1997,
psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku
Psikotropika terdiri dari 4
golongan :
1. Golongan I :Psikotropika yang
hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : Ekstasi.
2. Golongan II :Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalan terapi dan / atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : Amphetamine.
3. Golongan III :Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : Phenobarbital.
4. Golongan IV :Psikotropika yang
berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan / atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh : Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ).
ZAT
ADIKTIF LAINNYA :
Yang termasuk Zat Adiktif lainnya
adalah : bahan / zat yang berpengaruh psikoaktif diluar Narkotika dan
Psikotropika, meliputi :
1. Minuman Alkohol : mengandung
etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu.
Jika digunakan bersamaan dengan Narkotika atau Psikotropika akan
memperkuat pengaruh obat / zat itu dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman
beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 –
5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 –
20 % ( Berbagai minuman anggur )
c. Golongan C : kadar etanol 20 –
45 % (Whisky, Vodca, Manson House, Johny Walker).
2. Inhalasi ( gas yang dihirup )
dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat
pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin.
Yang sering disalahgunakan adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau
yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat.
Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
Faktor Penyebab
Penyalahgunaan NAPZA
Ada banyak alasan mengapa sesorang menggunakan NAPZA.
Bagaimana seseorang mulai menyalahgunakan NAPZA, dipengaruhi oleh
faktor-faktor, antara lain:
Faktor Individu, kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai ataau
terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan
biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan
untuk menyalahgunakan NAPZA
Faktor lingkungan, meliputi faktor lingkungan keluarga dimana
kurangnya komunikasi antara anak dan orang tua, sehingga anak akhirnya
berkomunikasi di luar rumah, orang tua yang tidak harmonis, seringkali membuat
seorang anak menjadi tidak nyaman berada di rumah, lingkungan sekolah dimana
sekolah tidak menyediakan fasilitas untuk aktifitas ekstrakurikuler, lokasi
sekolah dekat dengan tempat hiburan. Lingkungan teman sebaya dimana adanya
dorongan teman sebaya, apabila tidak menggunakan NAPZA, dianggap tidak moderen
dan tidak gaul. Dan terakhir adalah lingkungan masyarakat atau sosial,
masyarakat yang tidak perduli dengan situasi lingkungan
Faktor NAPZA, mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga
terjangkau, seperti, banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik
untuk dicoba. Selain itu efek dari obat yang memang dibutuhkan si penguna
Faktor-faktor tersebut tidak diatas
memang tidak selalu menjadi penyebab utama seorang individu menggunakan NAPZA,
harus dilihat kasus perkasus, karena bisa saja anak dari keluarga harmonis
menjadi penyalahguna NAPZA. Karena pada dasarnya, tidak seorang individu pun
yang ingin menjadi seorang pecandu. Ketergantungan dan efek dari zat, yang
akhirnya membuat para penyalahguna NAPZA sulit melepaskan diri dari ketergantungan.
Seorang individu tidak begitu saja mengalami ketergantungan,
melainkan terjadi secara bertahap. Dimulai dari tahapan hanya coba-coba saja
atau lebih sering disebut tahapan eksperimental, dimana seseorang coba-coba
memakai, seperti juga coba-coba merokok, minuman beralkohol, keinginan untuk
mencoba banyak hal yang melatar belakanginya, bisa karena ajakan teman, rasa
ingin tahu, dan lain-lain. Karena efek yang enak, akhirnya menimbulkan
ketagihan dan menjadi suatu kebiasaan, sehingga tidak dapat dikendalikan lagi.
Tahapan yang lain adalah situasional,
menggunakan NAPZA hanya utnuk situasional tertentu, karena sedang merasa sedih,
frustasi, tidak ada teman untuk berbagi cerita, akhirnya menggunakan NAPZA,
lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan. Tahapan selanjutnya tahap disebut
tahap rekreasional, menggunakan NAPZA hanya untuk rekreasi saja. Dan akhirnya
sampai kepada tahap ketergantungan.
Keinginan yang kuat atau rasa ketagihan lah yang membuat seorang
individu sulit untuk lepas dari kecanduan, atau lebih sering disebut “Suggesti”
yang sangat kuat mendorong individu untuk tidak bisa lepas dari kecanduan.
Seringkali, kalau kita mendengar atau melihat seseorang penyalahguna NAPZA atau
pecandu, maka kita akan mengatakan “itu adalah hasil dari perbuatan mereka”.
Tetapi sebenarnya yang terjadi pada diri sorang pecandu adalah, mereka juga
punya keinginan untuk lepas dari ketergantungan, tapi sulit bagi mereka utnuk
lepas dari ketergantungan, dimana lingkungan sangat mendukung yaitu tinggal di
daerah dimana tempat mendaptakan NAPZA sangat mudah, pengedar yang selalu
mencari mereka, support keluarga yang sangat lemah, sehingga akhirnya pecandu
sulit untuk tidak menggunakan NAPZA.
Dampak Penyalahgunaan
NAPZA
Bahaya dari penyalahgunaan NAPZA atau dampak yang
ditimbulkan sering disebut dengan komorbiditas, sangat tergantung dari jenis
NAPZA yang digunakan, secara umum bahaya dari penyalahgunaan NAPZA adalah:
menyebabkan euphoria yang hebat, menyebabkan ketergantungan fisik dan
psikologis jangka panjang, pengempisan pembuluh darah dan abses, manik mata
mengecil, pikiran kacau, depresi, psikosis, penyakit-penyakit jantung atau
kardiovaskuler, merusak sel-sel otak, tidak mampu konsentrasi, penurunan
kemampuan fisik dan mental, meningkatkan halusinasi, napsu makan menurun,
emosional, sulit tidur, nyeri otot, menyebabkan kematian.
Secara medis, dampak
atau komorbiditas dari penyalahgunaan NAPZA dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1. Komorbiditas fisik atau komplikasi
medis :
Disebabkan karena pemakaian yang lama, beberapa zat, apabila
digunakan dalam waktu yang lama, akan mengakibatkan gangguan-gangguan pada
fungsi tubuh, seperti heroin, akan mengaakibatkan gangguan pada fungsi
paru-paru dan jantung, alkohol mengakibatkan gangguan pada fungsi hati, ganja
mengakibatkan gangguan pada fungsi mental
Akibat pola hidup yang berubah, karena menjadi pengguna, pola
hidup menjadi berubah, napsu makan menurun, lebih banyak mengkonsumsi narkoba,
menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan, gangguan pola tidur
Akibat penggunaan jarum suntik bersamaan, mengakibatkan sarana
penularan Hepatitis B, hepatitis C dan HIV-AIDS.
2. Komorbiditas Psikiatrik
Beberapa zat apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan gangguan psikiatrik, seperti alkohol, ganja, amfetamin,
gangguan-gangguan yang ditimbulkan adalah :
Gangguan Tidur, gangguan fungsi seksual, cemas,
depresi berat, kasus-kasus ini ditemukan pada pengguna putaw atau heroin; Paranoid
curiga berlebihan, psikosis, depresi berat, kadang-kadang percobaan bunuh diri,
ini didapatkan pada pemakai jenis amfetamin;
Gangguan Psikotik, cemas, paranoid, kehilangan
motivasi, acuh tak acuh, kehilangan motivasi dan daya ingat, ini terjadi pada
pengguna ganja; Depresi, cemas, sampai paranoid, ini terjadi pada pengguna jenis
sedatip dan hipnotik atau obat-obatan penenang
3. Komorbiditas Sosial
Terjadi karena akibat dari ketergantungan zat tersebut dan
pengedar membuat lingkungan tidak nyaman, yaitu:
Ø
Keluarga : dapat terjadi
family disease, gangguan proses keluarga, menimbulkan keresahan pada keluarga
dalam berbagai bentuk, karena perubahan sikap dan prilaku pengguna yang tidak
menyenangkan karena efek dari napza, mengganggu ekonomi keluarga, psikologi
Ø
Sekolah : proses belajar
mengajar terganggu, penurunan prestasi akademik, meningkatnya kenakalan dan
sering membolos, putus sekolah, merusak tatanan pergaulan di sekolah, ysitu
hubungan antar teman, guru dan siswa.
Ø
Masyarakat :
Pengembangan jaringan perdagangan, ancaman kehidupan sosial, sulit keluar dari
lingkungan pengguna, meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, kriminalitas,
daya tahan dan kualitas SDM yang lemah
Dampak-dampak tersebut yang akan dialami oleh
para pengguna. Tentunya kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius, karena
dampak dari NAPZA, menimbulkan penderitaan, baik secara fisik, maupun
psikologis bagi penggunanya. Namun seringkali masyarakat mengganggap bahwa,
kondisi tersebut adalah akibat dari perbuatan pengguna sendiri. Padahal kalau
kita lihat dari sisi medis, efek dari NAPZA memang membuat seseorang yang sudah
menggunakan NAPZA, sulit untuk lepas dari ketergantungan. Mereka diharuskan
menggunakan NAPZA setiap harinya, dikarenakan kebutuhan fisik dan psikis yang
dialami akibat ketergantungannya terhadap NAPZA. Apabila tidak menggunakan ,
maka ia akan mengalami kesakitan secara fisik (withdrawl)
Dengan merujuk dari dampak yang ditimbulkan oleh NAPZA, tepat
apabila penyalahguna dikatakan sebagai korban dari NAPZA sendiri. Sehingga yang
seharusnya didapat oleh pengguna adalah sebuah proses terapi dan merehabilitasi
pengguna. Karena pada dasarnya pengguna sendiri punya keinginan untuk lepas
dari ketergantungan.
Program Terapi dan
Rehabilitasi Sebagai Rujukan
Program terapi dan rehabilitasi adalah salah satu rujukan untuk
menangani pasien-pasien yang mengalami ketergantungan NAPZA yang dilakukan oleh
Instansi pemerintah dan swasta. Program terapi dan rehabilitasi ini bertujuan
untuk membina para penyalahguna NAPZA agar dapat pulih dari ketergantungannya
dengan menggunakan berbagai pendekatan serta nilai dan norma yang
berlaku.(Subhan Hamonangan, Viktimisasi penyalahguna NAPZA akibat
dualisme hukum positip) Rehabilitasi sendiri menurut Undang-Undang adalah
fasilitas pembinaan bagi penyalahguna NAPZA dari segi medis, psikis dan sosial.
Rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan atau Menteri Sosial
(Pasal 39, undang-undang no.5 tahun 1997, tentang psikotropika)
Pada dasarnya tidak ada satu program terapi pun yang bisa membuat
para penyalahguna NAPZA lepas dari ketergantungan. Karena banyak
penyalahguna NAPZA yang sudah menjalani berbagai jenis terapi NAPZA, tetap
mengalami kekambuhan, karena didalam menjalani terapi NAPZA, tidak hanya
pengguna saja yang mempunyai komitmen, tetapi dibutuhkan juga support
orang-orang terdekatnya, dalam hal ini adalah keluarga. Karena sering keluarga
juga mengalami kejenuhan dalam merawat anggota keluarganya, karena terapi NAPZA
membutuhkan perawatan dalam waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit.
Hal tersebut yang menjadi kendala bagi program terapi pasien NAPZA.
Rehabilitasi tidak dapat memberikan jaminan kepada setiap pasien
atau klien yang dirawat akan langsung sembuh dari ketergantungan, dalam istilah
NAPZA tidak ada kata sembuh, tetapi istilah yang digunakan adalah pulih.
Walaupun tidak memberikan jaminan pulih, didalam rehabilitasi digunakan
pendekatan individual dan kelompok untuk menggali lebih jauh permasalahan utama
yang dihadapi oleh individu yang mengalami ketegantungan dan mengarahkan yang
bersangkutan untuk dapat menyelesaikan masalahnya.
Penulis tidak dapat menutup mata, tidak semua rehabilitasi
menerapkan progaram pemulihan secara ideal. Masing-masing pelayanan
rehabilitasi membuat modifikasi-modifikasi dalam program terapinya. Mengingat
perkembangan tren NAPZA yang terus berubah, dan kondisi pasien NAPZA pun dari
tahun ke tahun mengalami perubahan. Kalau dahulu lebih ke arah pelayanan mental
dan emosional, tapi saat ini lebih kearah penyelamatan hidup, pelayanan fisik
dan psikiatrik. Hal ini disebabkan karena banyak Klien NAPZA yang sudah
mengalami komplikasi medis (HIV-AIDS, Hepatitis C dan B, TB-HIV) dan
kasus-kasus psikiatrik makin meningkat. Sehingga program rehabilitasi pun mengalami
pergeseran, dari program TC (Therapeutic Community) kemudian ada proses
modifikasi sesuai kondisi pasien.
Masih terdapat beberapa pusat rehabilitasi yang melakukan
pendekatan kedisiplinan ala militer, dimana kekerasan fisik masih sering
terjadi. Hal ini dapat terminimalisasi karena dapat dipastikan bahwa setiap
lembaga yang mengatasnamakan panti rehabilitasi tidak seharusnya menerapkan
atau membiarkan terjadinya kekerasan fisik didalam programnya. Karena
pendekatan dengan menggunakan kekerassan fisik pada pasien NAPZA, tidak
akan membuat pennguna pulih, tetapi akan membuat klien trauma menjalani program
terapi, termasuk keluarganya.
Proses Hukuman
Pemaparan dipembahasan-pembahasan sebelumnya jelas tergambar bahwa
penyalahguna NAPZA, perlu suatu program terapi yang dibutuhkan tidak hanya
sekedar untuk membuat pengguna lepas dari ketergantungan, tetapi program terapi
juga dibutuhkan untuk pemulihan fisik dan psikologis penyalahguna.
Kita tahu, musuh masyarakat bukan, bukan penyalahguna NAPZA, tetapi
produsen dan pengedar. Statistik dan Dephuk dan HAM (2006) menunjukkan, jumlah
mereka di penjara jauh lebih sedikit dibandingkan penyalahguna NAPZA (73 persen
pengguna, 25 persen pengedar, 2 persen produsen). Hukuman mereka juga lebih
ringan dibandingkan dengan penyalahguna NAPZA.(Subhan hamonangan, Viktimisasi
Penyalahguna Napza akibat Dualisme Hukum Positif ) Pemenjaraan
bagi penyalahguna NAPZA tidak menyelesaikan masalah, tetapi
menimbulkan masalah yang baru kembali, karena di dalam penjara
terjadiover capacity, penjara menjadi kacau, terjadinya
kekerasan sesama NAPI, eksploitasi NAPI, terutama untuk penyalahguna remaja dan
wanita, penularan penyakit (termasuk HIV/AIDS). Kondisi ini tentu sangat
memprihatinkan dan terbukti tidak menyelesaikan masalah, terus berlangsung.
Banyak pihak yang tidak peduli dengan berkurangnya produktivitas
SDM yang dipenjara dan negara membiayai fasilitas hukuman seperti ini. Padahal,
banyak pecandu yang dalam banyak hal sudah banyak kehilangan kesempatan untuk
meraih impian masa depan dan cita-cita, termasuk tujuan hidup ternyata apabila
ditangani dengan program yang kreatif, terarah membuat mereka menjadi
bermanfaat. Sedangkan penjara tidak menyediakan fasilitas ini, namun
seolah-olah menjanjikan detoksifikasi dengan model pasang badan (cold turkey),
yaitu tanpa bantuan obat atau zat, detoksifikasi alamiah. Namun dengan maraknya
kasus peredaran NAPZA di dalam penjara (terbukti dalam berita TV tentang
kondisi LAPAS di Medan), tentunya hal ini tidak mungkin. Tindakan selanjutnya
perawatan dan rehabilitasi juga tidak didapatkan. Akibatnya banyak pecandu yang
sakit tertular HIV/AIDS, dan meninggal (Irwanto, Artikel dilema menjadi
pecandu Narkoba )
Bagi penulis, melihat kondisi ini, disinilah bahwa kita harus
memanusiakan penyalahguna NAPZA. Karena masih banyak anggapan dan stigma,
pasien NAPZA adalah orang yang tidak perlu dibina dan mengganggap
terapi rehabilitasi tidak membawa dampak apapun bagi pengguna, tanpa melihat
bahwa pada dasarnya adiksi alah suatu kondisi kronis, yang oleh penggunapun
dianggap penderitaan. Padahal ketergantungan NAPZA adalah suatu penyakit yang
dapat dipulihkan dengan adanya dukungan orang-orang terdekatnya yaitu keluarga,
kakak dan adiknya, teman terdekat, istri atau suami, masyarakat dan kelompok serta
niat dan kemauan yang keras dari penyalahgunannya.
KESIMPULAN
Hukuman dan penjara bukan tempat yang tepat bagi penyalahguna
NAPZA. Mereka adalah korban dari suatu proses ketergantungan. Penjara hanya
akan membuat pengguna menjadi korban viktimisasi dan tidak membuatnya pulih
dari ketergantungan. Program terapi dan rehabilitasi merupakan hak yang dapat
dimiliki oleh klien atau pasien NAPZA. Karena pada dasarnya ketergantungan
NAPZA tidak selalu merupakan sesuatu yang memang diinginkan oleh seorang pecandu,
sama halnya dengan sesorang yang tidak menginginkan menderita penyakit kanker
atau penyakit lain yang susah disembuhkan. Sehingga, rehabilitasi adalah sarana
pecandu untuk menjalani proses pemulihan
Penulis dalam hal ini kembali menekankan, bahwa tidak mudah untuk
menangani pasien/klien NAPZA, karena adiksi adalah penyakit kronis, salah satu
dampak terhadap prilaku adalah adanya prilaku obsessive-compulsive,
yaitu dimana pada saat kebutuhan dan keinginan untuk menggunakan timbul, maka
tidak ada satupun ancaman yang ditakuti oleh pengguna. Selain itu emosional
pasien yang cenderung tinggi, terkadang mengakibatkan burn out pada tenaga
kesehatan yang terlibat di dalam perawatan pasien NAPZA dan resiko
kekambuhan yang tinggi, akhirnya membuat pasien NAPZA seringkali berulang
dirawat, membuat petugas harus berhadapan dengan pasien yang sama, ini juga
berpotensi menimbulkan kejenuhan.
Penyalahguna NAPZA adalah korban yang harus diselamatkan dari
penyakit adiksi. Penyakit ini dapat dipulihkan dengan dukungan dan komitmen
yang kuat dari orang-orang terdekat, keluarga, istri atau suami, teman-teman
terdekat. Adanya perhatian dan kasih sayang terhadap diri si penyalahguna,
karena sesusungguhnya mereka juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang
orang-orang di sekelilingnya, hal yang paling utama adalah niat dan kemauan
dari diri sendiri.
sumber
:
·
kimiadahsyat.blogspot.com
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar